Sabtu, 19 Maret 2011

SAHABAT KECIL ARA

Pagi yang indah di alam pedesaan tepatnya di daerah Subang Jawa Barat. Kabut yang dingin tampak masih menyelimuti pegunungan dan hamparan perkebunan teh. Sungai kecil mengalirkan airnya yang jernih dengan lembut. Langit terlihat sangat bersih, biru dan cerah yang menjadi latar belakang keindahan pemandangan hamparan pegunungan dan perkebunan teh.

Pagi itu Ara menikmati alam bersama kakaknya yang bernama Kak Setya. Ara yang tadi malam baru saja sampai di desa untuk berlibur selama tiga hari kedepan sangat merindukan alam tanah kelahirannya yang telah lama ia tinggalkan untuk menempuh pendidikan di Jakarta. Dengan berjalan kaki Ara dan Kak Setya perkebunan teh. Terlihat para pemetik teh berjalan menelusuri area kebun yang bergegas untuk memulai aktifitasnya memetik pucuk daun teh yang masih muda.

Ara juga menelusuri pinggiran jalan raya yang terlihat kendaraan sudah mulai meramaikan jalan. Ara memandangi alam dengan seksama seolah tidak mau ada satupun objek yang terpeleset dari pandangannya. Keindahannya ia potret berkali-kali dari banyak sudut

Saat matanya berkeliling menikmati keindahan alam, tiba-tiba pandangannya terpaku pada satu sosok perempuan yang terlihat sudah paruh baya. Kelihatannya perempuan itu sangat sibuk dengan apa yang sedang ia bawa. Perempuan itu membawa dua kantong plastik berukuran besar dan tas berukuran kecil yang digantungkan pada pundak sebelah kiri. Perempuan itu mengayuhkan sepedanya menelusuri jalan yang berkelok-kelok.

Lama-lama iya menelusur melewati Ara dan Kak Setya yang sedang berdiri di pinggiran jalan memandangi jalan. Dan pada saat perempuan itu berlalu di depan Ara tiba-tiba bruuukk…… perempuan itu tidak dapat mengatur keseimbangan sepedanya karena kantong yang berat hingga akhirnya barang-barangnya semua berjatuhan berserakan di jalan. Ara dan Kak Setya langsung terkejut melihat perempuan itu terjatuh. “Astaga…” ucap Ara dan Kak Setya kompak sambil buru-buru berlari menghampiri perempuan itu. “Ibu tidak apa-apa?” Tanya Ara cemas sambil memeriksa keadaan perempuan itu apakah ada yang terluka atau tidak. “Ibu gak papa neng. Kaki ibu hanya sedikit lecet terbentur aspal.” Jawab perempuan itu sambil merintih kesakitan.

“ Mari saya bantu bu, istirahat dulu mungkin ibu terlalu capek.” Sambil menunjuk ke arah kursi panjang kosong di pinggir jalan tersebut yang tepat berada di dekat dimana perempuan itu terjatuh. Sambil tertatih-tatih Kak Setya berusaha keras menopang perempuan itu sampai duduk. Sedangkan Ara membantu membereskan barang-barang yang berjatuhan dan menderek sepedanya yang terbalik jatuh di pinggir jalan. “ini bu diminum dulu airnya.” Kata Ara sambil menyodorkan sebuah botol minum yang masih terisi penuh air mineral yang ia bawa dari rumah. “terima kasih ya,kalian baik sekali.” Kata perempuan itu sambil membuka tutup botol tersebut dan meneguknya.
“Wah…luka ibu yang di kaki cukup banyak bu hamper mengeluarkan darah. Biar saya obatin ya bu kebetulasn saya tissue dan obat merah di kantong tas kecil yang selalu saya bawa kemana-mana.” Kata Ara dengan nada sedikit cemas sambil merogoh-rogoh kantong tas tersebut dan mengeluarkan tissue dan obat merahnya. Ara mulai membersihkan dengan air dari sisa air mineral yang ia bawa dan tissue, lalu mengoleskan obat merah pada luka perempuan itu. Sesekali Ara dan Kak Setya mengajak ngobrol perempuan itu untuk menghibur.

“Kalau boleh tau ibu dari mana? Barang bawaan ibu banyak sekali.” Tanya Kak Setya penasaran. Ara terdiam karena sibuk mengobati luka perempuan itu. Lalu perempuan itu menjawab dengan nada lembut “Ibu dari pasar Mas, ibu habis belanja keperluan dagang. Ibu ke pasar dari jam 5 pagi Mas setiap hari ibu rutin ke pasar.” “Memangnya ibu berjualan apa?” Sahut Ara yang sedikit lagi selesai mengobati luka perempuan itu. “Ibu berjualan kue keliling neng setiap sore. Hanya dikomplek desa ibu saja ditemani anak perempuan ibu. Sebagian juga ada yang dititipkan di warung-warung kecil.” Jelas perempuan itu. “Oh begitu,” Ara tertegun dan entah kenapa ia merasa penasaran dengan anak perempuannya.

“Oh ya sudah selesai nih bu. Mudah-mudahan lukanya cepat kering ya bu.” Sambung Ara bergegas berdiri dan melontarkan senyuman pada perempuan itu. “Sekali lagi terima kasih ya nak, kalian anak-anak yang baik. Semoga kalian menjadi anak yang berguna dimasa depan kelak.” Ucap perempuan itu dengan nada haru.

Setelah duduk-duduk dan berbincang cukup lama di pinggir jalan dan ditengah-tengah udara yang sejuk dan menyegarkan, tidak terasa hari sudah semakin siang. Matahari dudah mulai terik. “Rumah ibu dimana? Biar kami antarkan pulang.” Kak Setya menawarkan diri pada perempuan itu. “Ah tidak udah repot-repot Mas biar ibu pulang sendiri saja.” Tolak perempuan itu malu-malu karena merasa merepotkan. “Ah tidak apa-apa kok bu. Kami kan niat menolong bu. Kami tidak mau menolong orang setengah-setengah, apalagi kaki ibu masih sakit buat jalan. Biar kami bantu bawa barang-barangnya dan sepeda ibu.” Sambungku. “Baiklah nak kalau kalian memang tidak keberatan. Rumah ibu di Desa Ringinharjo. Kira-kira 1 kilometer lagi lah dari sini.” Jelas perempuan itu. “Atau begini saja, kamu dan ibu naik angkot membawa barang-barang belanjaan ibu. Nanti biar kak Setya naik sepeda ibu mengikuti angkot mengantarkan kerumah ibu biar lebih menghemat waktu karena hari sudah semakin siang.” Saran Kak Setya. “Wah ide bagus kak jadi ibu tidak harus capek berjalan terlalu jauh. Ayo kita naik angkot saja bu. Biar Kak Setya yang naik sepeda.” Komentar Arad an mengajak perempuan itu untuk mencari angkot yang ke arah desa Ringinharjo.

Beberapa saat angkot yang ditunggu-tunggu akhirnya lewat dan perempuan itu melambaikan tangannya memberi kode pada sopir angkot untuk berhenti.
“Oh iya neng. Ngomong-ngomong neng namanya siapa? Dari tadi ibu lupa mau nanya.hehe…” Tanya perempuan itu sambil tertawa kecil. “oh iya kita belum sempet kenalan ya bu dari tadi?hahaha…nama saya Ara bu. Kalau yang tadi kakak saya namanya Setya. Ibu sendiri namanya siapa?” Ara balik bertanya. “oh neng Ara. nama ibu Fatimah neng. Kalau kakakmu yang tadi ibu sudah tahu neng. Kan tadi kan dia nyebut-nyebut namanya.” Jawab perempuan itu sambil tersenyum lebar. “ oh ibu sudah tau toh? Saya pikir ibu juga gak tau nama kakak saya yang tadi.hehehe…” kata Ara sambil tertawa kecil.

Tidak terasa Ara dan bu Fatimah telah sampai di pemberhentian terakhir mobil angkot. Ara dan bu Fatimah pun turun dan berjalan menuju rumah bu Fatimah. Dari kejauhan rumah itu sudah hampir terlihat. “itu neng rumah ibu yang di sebelah sana.” Kata ibu Fatimah menunjukkan rumahnya pada Ara. Ara menoleh kearah rumah itu. Rumah yang terlihat sederhana dan agak sempit. Atapnya terlihat agak pendek. Ara merasa ada keanehan dan merasa tidak asing dengan bangunan yang terlihat agak rapuh.

Saat tiba di depan rumah ibu Fatimah, Ara semakin yakin bahwa ia pernah mengenal rumah ini. Ibu Fatimah membukakan pintunya sambil mengucap salam “ayo masuk neng, duduk dulu istirahat sambil menunggu kakakmu. Ibu mau kebelakang dulu memanggil anak ibu dan membuatkan minuman untukmu.” Kata bu Fatimah mempersilahkan Ara masuk ke dalam rumah. “iya bu.terima kasih.” Sahutku sambil melihat-lihat ruangan tersebut.

Ara memandangi sekeliling ruang tamu itu yang berukuran kecil dan berlantaikan semen tetapi tetap terlihat bersih. “Astaga, aku benar-benar pernah mendatangi rumah ini sebelumnya. Tetapi aku lupa ini rumah siapa.ya Tuhan…” bisik hatinya mengingat-ingat kembali masa lalu itu. Saat ia sedang melamun terpaku dengan pikirannya tiba-tiba ibu Fatimah keluar diikuti seorang perempuan dengan membawa segelas the hangat yang dibawa dengan nampan kecil.

Ara tersadar dari lamunannya. Seorang perempuan sebaya dengan Ara meletakkan gelas di meja tepat di depan Ara. Ia memperhatikan perempuan itu dengan seksama dari atas sampai bawah. Ara sedikit heran karena ia merasa pernah mengenalnya. “ ya aku mengenalnya. Tapi dia siapa?aku benar-benar tidak ingat namanya.” Hati Ara berbisik kembali.

“silahkan diminum mbak, mumpung masih hangat.” Perempuan itu menjuruskan matanya ke arahku. Saat ia melihat Ara, ia terdiam sejenak dan menatap Ara erat-erat. Ia merasakan hal yang sama dengan Ara. Ia dan Ara saling bertatapan dan sejenak dan akhirnya “Astaga kamu Sarah kan? Sarah teman semejaku dulu waktu SD kelas 1.” Ara berkata dengan terkejut dan yakin bahwa yang ia katakan itu benar. “Astaga..kamu Clara bukan? Benar kamu Clara teman kecilku dulu?” sahut perempuan bernama Sarah dengan nada terkejut pula yang ternyata ia juga masih mengingat Ara sebangai teman kecilnya dulu.

Mereka langsung berpelukan melepas rindu. “Ya Tuhan…sudah hampir 13 tahun kita ga pernah bertemu lagi semenjak kamu pindah ke Jakarta, Ra. Aku hampir tidak mengenalimu. Kamu berubah sekali Ra.” Sambung Sarah gembira menyampaikan perasaan senangnya dapat bertemu teman kecilnya kembali. “iya Sarah. Aku senang sekali bisa bertemu lagi denganmu hari ini. Ini sebuah kejutan dari Tuhan untukku. Aku bertemu sahabat kecilku.” Ara menambahkan dan menyampaikan perasaannya pula kepada Sarah.
“ibu, ini Clara bu sahabat kecilku dulu waktu sekolah dasar di kelas 1. Ibu bertemu dengan Ara dimana?” Tanya Sarah pada ibunya ibu Fatimah. “Oh neng Ara ini teman sekolahmu dulu toh? Tadi ibu habis ditolong neng Ara dan kakaknya saat ibu jatuh dari sepeda tadi di jalan. Wah kebetulan sekali ya neng Ara.” Jawab ibu Fatimah menjelaskan kejadian sebelumnya kepada anaknya. “loh terus kakakmu mana Ra?katanya sama kakakmu?” Tanya Sarah heran karena Ara hanya sendirian. “Oh kakakku masih di jalan bawa sepeda ibu. Sebentar lagi juga nyampe kok.” Jawab Ara dengan santai.
Beberapa saat kemudian ketika Ara, Sarah dan ibu Fatimah asik berbincang-bincang Kak Setya tiba dengan sepeda ibu Fatimah. “Assalammua’alaikum..wah udah pada ngumpul di sini.” Sapa Kak Setya sambil mengelap keringat di wajah dengan punggung tangannya. “Waalaikum salam…” Ara, Sarah dan ibu Fatimah menjawab bersamaan. “eh kamu sudah sampas Mas..mari masuk ibu buatkan minuman dulu.” Kata ibu Fatimah menyambut Kak Setya datang. “terima kasih bu.” Sahut Kak Setya.
“Oya, perkenalkan ini anak ibu yang ternyata sahabat adikmu sewaktu kelas 1 SD.” Sambung ibu Fatimah sambil menjulurkan tangannya kearah Sarah. “Ohya?” Kak Setya terkejut “wah bias kebetulan gini ya. Saya Setya kakaknya Ara.” Sapa Kak Setya pada Sarah menjabat tangan dan tersenyum. “Sarah.” Sarah membalas senyum. “Sebentar ya Mas Setya ibu ambilkan minuman dulu.” Kata ibu Fatimah bangkit dari kursinya menuju dapur.

“ngomong-ngomong kamu sekarang sekolah dimana Sarah?” Tanya Ara yang ingin tahu lebih jauh tentang Sarah. Sarah terdiam sesaat mendengar pertannyaan Ara. Lalu Sarah menjawab “Aku sudah putus sekolah Ra sejak aku kelas 2 SMP.” Wajahnya berubah. Terlihat murung dan sedih saat menjawab pertanyaan Ara. “kenapa?” Ara bertanya pelan. “aku putus sekolah karena ayah dan ibuku tidak sanggup membiayai semua anak-anaknya sekolah. Ayahku hanya seorang kuli panggul di pasar. Sedangkan ibuku hanya seorang penjaula kue keliling. Pekerjaanku sekarang ya hanya membantu ibuku berkeliling menjual kue-kuenya.” Lanjut sarah.
“Prihatin sekali kehidupanmu Sarah.” Sahut Ara dalam hatinya. “Lalu adikmu bagaimana?” Tanya Ara kembali. “Alahamdulillah sampai sekarang ia masih sekolah.” Jawab Sarah yang belum berubah raut wajahnya. Mata Ara berkaca-kaca mendengar keluh kesah sahabatnya itu yang dulu dia adalah sosok anak yang ceria.
Setelah lama Ara, Kak Setya, Sarah dan ibu Fatimah berbincang-bincang tentang keadaan masing-masing Ara dan Sarah, Ara melihat keluar jendela. Matahari semakin terik. Jam ditangannya menunjukkan pukul 1 siang.

“Wah gak terasa dari tadi kita asik ngobrol ternyata sudah siang.” Kata Ara agak kecewa. “aku dan kakak harus pulang nih sebelum kakek mencari kami.” Sambung Ara. “ iya Ara terima kasih banyak ya hari ini. Aku senang sekali.”kata Sarah dengan nada harunya dengan wajah yang kembali cerah. “iya nak ibu ngucapin terimakasih banyak ya sama kalian. Ibu senang bisa kenal dengan kalian.” Sambung Ibu Fatimah. “iya bu sama-sama. Saya juga senang bisa kenal dengan ibu dan Sarah.” Kak Setya tersenyum. “nanti kalau kamu liburan disini lagi kakak antarkan kamu kesini lagi kok Ra. Tenang aja.” Sambung Kak Setya kepada Ara. “waaah…benar ya kak?” kata Ara gembira “Pasti….hehehe…”

Matahari bersinar terik ketika Ara dan kakaknya keluar dari rumah itu untuk kembali ke rumah kakek. Hawa dingin masih sedikit terasa segar di badan. Pemandangan puncak gunung memang indah. Tetapi nasib Sarah dan keluarganya masih membayangi pikiran dan perasaan Ara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar